CANDI DUKUH / CANDI BRAWIJAYA
candi dukuh maret 2015
Lokasi : dusun dukuh desa kebondowo kec banyubiru kab semarang
Religi : Hindu
Menarik untuk di ulas tentang riwayat candi dukuh ini dari waktu ke waktu sejak ditemukan pertama kali sampai dipugar sekarang ini,yang hasil pemugaran luar biasa cukup indah dan sempurna.Maka dari itu saya mengumpulkan beberapa foto candi dukuh dari waktu ke waktu untuk sebagai penikmat sejarah yang terus berlangsung sampai hari ini.
gambar gambar di bawah ini saya ambil dari berbagai postingan dari senior- senior blogger blusukan
candi dukuh 2010 sumber:tarabuana
candi dukuh 2011 sumber:sasadaramk
candi dukuh 2012 sumber:majidapurba
candi dukuh 2013 sumber:wardanamandira
candi dukuh 2014 sumber:sutrisnasmg
candi dukuh 2015 sumber:sutrisnasmg
Kisah yang menceritakan tentang riwayat candi ini:
Ratu
tidaklah harus berbusana megah, ratu hendaknya menunjukkan
eksistensinya dengan kehidupan tradisional. Sebagai panutan, pengayom
dan jembatan antara materiil dan imateriil, seorang ratu berfikir untuk
kepentingan manusia dan alam kepada Sang Pencipta, sebagai sebuah
tanggung jawab yang harus dibuktikan secara nyata dan utuh. Ratu tidak
akan pernah berfikir materi bagi dirinya sendiri, ratu mampu menciptakan
kretifitas yang searah dengan alam dan Sang Pencipta. Ratu
mengedepankan kepentingan manusia, alam dan Sang Pencipta terjalin
sebuah hubungan yang tidak bisa diputus. Ratu harus mampu melahirkan
pola-pikir yang arif, bijak dan adil bagi manusia dan alam ( ciptaan
lain ). Seorang ratu hendaknya memiliki sifatollah dan sirollah sebagai
bagian hidupnya. Berdiri tegak dibawah kehendak Sang Pencipta. (http://budayaleluhur.blogspot.com/2009/11/perjalanan-akhir-prabu-brawijaya-v.html)
Lokasi : dusun dukuh desa kebondowo kec banyubiru kab semarang
Religi : Hindu
Menarik untuk di ulas tentang riwayat candi dukuh ini dari waktu ke waktu sejak ditemukan pertama kali sampai dipugar sekarang ini,yang hasil pemugaran luar biasa cukup indah dan sempurna.Maka dari itu saya mengumpulkan beberapa foto candi dukuh dari waktu ke waktu untuk sebagai penikmat sejarah yang terus berlangsung sampai hari ini.
gambar gambar di bawah ini saya ambil dari berbagai postingan dari senior- senior blogger blusukan
candi dukuh 2010 sumber:tarabuana
candi dukuh 2011 sumber:sasadaramk
candi dukuh 2012 sumber:majidapurba
candi dukuh 2013 sumber:wardanamandira
candi dukuh 2014 sumber:sutrisnasmg
candi dukuh 2015 sumber:sutrisnasmg
dari beberapa gambar di atas adalah dapat dilihat perubahan kondisi dalam 5 tahun terakhir.Tampak jelas ada perubahan yang signifikan,mulai tatanan batu yang ditumpuk asal menjadi sebuah bangunan candi ya bangunan candi,candi dukuh namanya.semoga semakin sempurna dengan kelanjutan bagian atap dan puncak candi.
beberapa bagian bagian lain di lokasi candi dukuh saat ini,maret 2015
riwayat sejarah candi dukuh:
PERJALANAN AKHIR PRABU BRAWIJAYA V
( PINDAHNYA KERATON MAJAPAHIT KE LAWU )
Perbedaan
pendapat antara anak kandung ( R.Patah ) dan Bapak ( Brawijaya V )
menjadikan sebuah kegelisahan tersendiri bagi Bapak. Ketika perbedaan
itu diperuncing, sebuah tantangan bagi seorang Bapak untuk menyelesaikan
dengan arif dan bijak. Bagaimana Prabu Brawijaya V, menyelesaikan
konflik tersebut ?.
Mendengar
penuturan utusan-utusannya bahwa R.Patah tidak mau menghadap ( marak
sowan ) ke keraton Majapahit, Sang Prabu memerintahkan menyiapkan kapal
untuk ke Demak. Semua bhayangkara, senopati, empu dan brahmana serta
prameswari ikut dalam rombongan perjalanan. Dalam perjalanan kemanapun
dampar atau singgasana yang berupa " watu gilang ( batu )" selalu
dibawa, karena merupakan simbol kedudukan sebagai seorang ratu. Puluhan
kapal besar berangkat menyusuri sungai brantas menuju laut jawa dan
kearah barat. Di haluan setiap kapal terpasang replika " Rajamala "
dengan mata yang tajam. Masuk ke Demak dengan menyusuri sungai Demak,
Sang Prabu mengutus utusan memanggil R.Patah. R.Patah tidak mau menemui
bapaknya yang berada diatas kapal di tepi sungai. Sang Prabu segera
memerintahkan meneruskan perjalanan, guna mencari tempat untuk
persinggahan. Sampailah Rombongan di desa Dukuh Banyubiru Salatiga. Parapengikut raja membangun singgasana diatas sebuah bukit kecil, sekarang disebut candi Dukuh.
Di lokasi ini, seluruh senopati menyarankan untuk membawa paksa R.Patah menghadap Sang Prabu. Para brahmana
dan empu menyarankan agar Sang Prabu bersikap arif dan bijak, karena
R.Patah adalah anak kandungnya sendiri. Dialog yang panjang dilakukan
guna mencari sebuah solusi yang tepat. Sang Prabu melakukan ritual
spiritual bersama para brahmana, guna mencari akar persoalan ( susuh
angin ). Maka didapat kesimpulan bahwa ada kesalahan Sang Prabu di
hadapan Sang Pencipta. Berbulan-bulan lamanya Sang Prabu melakukan
refleksi diri, seluruh putra-putri dan menantunya dipanggil untuk
menghadap ke banyubiru keraton dikosongkan. Refleksi diri adalah wahana
menanam pohon kejernihan pikir yang berbunga arif dan berbuah bijaksana.
Lahirlah sebuah keputusan, bahwa Sang Prabu tidak merasa pantas
mengenakan mahkota dan kemegahan busana. Mahkota adalah simbol manusia
berbudaya, kemegahan busana adalah simbol kemegahan raga sebagai seorang
pemimpin. Hal tersebut disebabkan oleh sebuah pernyataan " jika sebagai
bapak dan pemimpin harus berhadapan dan berperang dengan anak
kandungnya sendiri. Maka seorang bapak bukanlah manusia yang berbudaya
".
Sang
Prabu memerintahkan seluruh pengikut setianya untuk berganti busana
dengan lurik, dan mahkota nya dengan ikat kepala. Adipati terdekat
adalah Pengging yang dijabat oleh menantu tertuanya, diperintahkan
memintal benang " lawe " ( bermakna laku gawe ) menjadi bahan lurik.
Sebagai ikat kepala berwarna biru tua dengan pinggirnya bermotif "
modang " ( bermakna ngemut kadang ). Seluruh putra-putrinya
diperintahkan berganti gelar dan nama. Maka bergantilah nama mereka
menjadi seperti, Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Getas, Ki Ageng Batoro
Katong, Ki Ageng Bagus dll. Penggantian tersebut bertujuan melakukan
perjalanan ( laku gawe ) mengoptimalkan pola pikir yang seimbang dan
jernih, dengan sebutan " ki " ( singkatan dari kihembu ). Sang Prabu
berganti gelar dan nama menjadi Ki Ageng Kaca Negara. Nama tersebut
mengisyaratkan pada refleksi diri, negara diartikan sebagai diri
pribadi. Keraton Majapahit telah berpindah ke Banyubiru. Buah maja yang
pahit harus dimakan untuk memperbaiki sebuah tatanan kehidupan. Ditempat
ini pulalah dialog antara Prabu Brawijaya V/ Pamungkas dengan ' Sabdo
Palon ' dan ' Naya Genggong ' yang ada di dalam dirinya. Siapa Sabdo
Palon dan Naya Genggong ? ( baca buku " Brawijaya ?" )
Selama
tiga tahun Ki Ageng Pengging membangun papan untuk mertuanya, setelah
selesai keraton berpindah dari Banyubiru ke Pengging. Pengging
berkembang dengan pesat. Sang Prabu memerintahkan seluruh prajuritnya ke
wilayah gunung kidul, hingga sekarang banyak anak-turun prajurit
majapahit tinggal disana. Harta karun berupa bebatuan tak ternilai
harganya ada disana. Di Pengging banyak peninggalan artefak-artefak dan
candi-candi kecil majapahit. Tersebar di tengah pasar, ditengah rumah
penduduk dan dalam gundukan tanah. Pengging kaya akan sumber air mineral
tinggi. Pada masa sekarang banyak kegiatan tirtayoga dilakukan oleh
masyarakat sekitar Surakarta dan berbagai kota di
Jawa. Seolah menjadi sebuah misteri tersendiri yang belum terungkap
kebenarannya. Selama enam tahun Ki Ageng Kaca Negara ( Brawijaya V /
Pamungkas ) berada di Pengging, membangun tatanan kehidupan manusia,
alam dan Sang Pencipta. Pengembangan industri lurik dimulai dari wilayah
keraton Pengging, yang sangat luas wilayahnya hingga wilayah pedan
klaten.
Para brahmana
menyarankan kepada Ki Ageng Kaca Negara untuk menapak tilas jejak Sang
Prabu Airlangga ke Lawu. Dalam pandangan raja-raja terdahulunya gunung
lawu merupakan tempat yang memiliki energi positif. Para brahmana
melihat bahwa gunung lawu telah menjadi tempat tinggal leluhur-leluhur
yang telah suci/moksa. Maka Ki Ageng Kaca Negara melakukan perjalanan ke
Gunung Lawu dan singgah pertama di candi Menggung desa Nglurah
kecamatan Karangpandan kabupaten Karanganyar. Candi Menggung adalah
peninggalan Sang Prabu Airlangga, sebagai sebuah artefak bahwa beliau
pernah memohon petunjuk Sang Pencipta guna menyelesaikan persoalan
negara. Di candi inilah artefak lingga-yoni yang pertama dibangun oleh
Prabu Airlangga. Lingga-yoni adalah simbol keseimbangan manusia, alam
dan Sang Pencipta. Selama Seratus hari rombongan Ki Ageng Kaca Negara
tinggal disekitar candi menggung.
Ki
Ageng Kaca Negara mencari tempat yang layak guna membangun dampar.
Ditemukan sebuah tempat diatas dan dibangunlah dampar di desa Blumbang
Tawangmangu. Tempat ini diberi nama pertapan ' Pandawa Lima', sekarang
dikenal sebagai pertapan ' Pringgodani '. Perjalanan ini digambarkan
pada relief yang terdapat di dalam candi Sukuh. Disinilah Ki Ageng Kaca
Negara bertemu dengan penguasa lawu, hingga diberi tambahan gelar '
Panembahan ', sehingga menjadi ' Ki Ageng Panembahan Kaca Negara ".
Dialog terjadi antara penguasa lawu ( disebut Eyang Lawu ) dengan Ki
Ageng Panembahan Kaca Negara. Dialog ini menghasilkan kesepakatan " Dwi
jalmo Ngesti Sawiji ", Eyang Lawu mengijinkan membangun keraton
majapahit di lawu menjadi keraton lawu. Ki Ageng Panembahan Kaca Negara
menjadi ' Sunan Lawu ', hingga Eyang Lawu menunjuk siapa yang akan
menggantikannya. Dapat dilihat dengan jelas bahwa keraton Majapahit
tidak pernah punah atau hilang, walau bangunannya hanya berupa
candi-candi yang tersebar di mana-mana.
Dapat
disimpulkan pula bahwa Prabu Brawijaya V, tidak pernah menyerahkan
dampar kepada anak-anaknya atau keturunannya sendiri. Nusantara
terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil, masing-masing membangun
keraton sendiri-sendiri.
Walau
diawal Mataram ada upaya Panembahan Senopati mempersatukan Jawa-Madura
dan berhasil dalam dialog di Bang Wetan. Dialog kesepakatan tanpa
pertumpahan darah antara Panembahan Senopati dengan Panembahan Sureswati
(mewakili kerajaan-kerajaan kecil pesisir utara) dari Surabaya,
dihadapan Sunan Bonang III. Eksistensi keraton Majapahit menjadi
keraton Lawu, memegang kekuasaan jagat imateriil. Sama halnya dengan
keraton laut selatan, berupa imateriil yang tidak memiliki bangunan
materiil. Keraton Lawu merupakan tatanan kehidupan imateriil ' gunung ',
sedangkan keraton laut selatan merupakan tatanan kehidupan imateriil '
segara '. Konsep segara-gunung adalah konsep kehidupan
vertikal-horisontal, sama halnya konsep lingga-yoni, sama halnya konsep
langit-bumi.
Keraton
lawu yang masih dalam bentuk imateriil berada di candi Palanggatan,
hanya dengan ketulusan dan kejernihan pikir manusia dapat melihat
bangunan imateriil keraton lawu. Dari candi Palanggatan Ki Ageng
Panembahan Kaca Negara, menulis pengetahuan majapahit dalam bentuk
arsitektur candi. Pembangunan candi-candi dipimpin oleh brahmana
tertinggi yang disebut sebagai ' Sang Balanggadawang ' Jaya Kusuma, yang
tidak lain adalah Ki Ageng Panembahan Kaca Negara sendiri. Gelar dan
nama diberikan oleh Eyang Lawu. Dibangunlah candi Sukuh kemudian candi
Cetho, sebagai pengetahuan basic tatanan kehidupan ' sangkan paraning
dumadi '. Candi kethek ditemukan pertama kali oleh penulis di tahun
1997, setelah selama tiga hari melakukan ritual spiritual di candi
cetho. Dengan dibantu beberapa anggota Brigif VI, warga karanganyar dan
disaksikan juru kunci candi cetho. Candi kethek bukan sebuah candi
melainkan sebuah dampar bagi Ki Ageng Panembahan Kaca Negara dengan
jabatan sang balanggadawang dalam perjalanan ke puncak lawu.
Puluhan
tahun membangun kedua candi di lereng lawu tersebut, berbagai
pengetahuan disimpan dalam bentuk imateriil di kawasan lawu. Permohonan
Brawijaya V, agar kelak eksis dalam wujud nyata ( materiil )
dipersiapakan dalam pengetahuan-pengetahuan itu. Perjalanan ke puncak
lawu merupakan wujud perjalanan permohonan yang tulus agar anak-turun
majapahit menikmati kembali masa keemasan majapahit. Majapahit telah
menyatu dengan lawu menjadi keraton lawu ( lihat logo keraton lawu di
kiri atas halaman website ). Selama lebih dari dua puluh tahun penulis
melakukan penelitian dengan pendekatan imateriil. Sehingga mendapat nama
dan gelar dari Eyang Lawu sebagai ' Ki Ageng Panembahan Darmo Sasmito
'.
Tiga
buah buku ditulis oleh penulis dengan judul " Brawijaya ? ", " Kilisuci
" dan " Kunti Talibrata " berdasarkan pengetahuan yang didapat
disekitar lawu. Buku yang sedang di garap dan di tulis hingga 75 %
adalah misteri relief dan artefak gapura candi Sukuh, dengan judul "
Terlahir kembali ". Keraton Majapahit tidak pernah punah, bahkan masih
eksis hingga kini. Tatanan kehidupan masih jelas bisa dilihat dan dibaca
tanpa terdegradasi pada masyarakat tertentu disekitar lawu, gunung
kidul dan pengging. Tatanan kehidupan antara manusia, alam dan Sang
Pencipta menghasilkan masyarakat tradisional yang gemah ripah, walau
tinggal di perbukitan yang dingin. Sebuah tantangan bagi masyarakat
modern untuk melihat langsung dan membuktikannya. Cerminan sehat dalam
arti jiwa, raga, pola pikir dan papan bisa dilihat secara materiil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar